Korporat atau korporasi adalah perusahaan besar yang memiliki skala usaha melintasi batas negara. Produknya bukan hanya ada di negara dimana perusahaan tersebut didirikan tetapi ada di negara lain juga bahkan ada di lebih dari separuh negara di dunia ini. Di dunia ini ada sekitar 195 negara.
Founder atau pendiri adalah seseorang atau beberapa orang yang memutuskan bekerja keras untuk mendirikan dan membesarkan perusahaannya sendiri. CEO atau direktur adalah pimpinan perusahaan yang memiliki tanggung jawab stratejik untuk mengembangkan perusahaan yang dipimpinnya. CEO bisa berasal dari pendiri perusahaan tetapi bisa juga bukan pendiri perusahaan melainkan karyawan yang ditunjuk untuk menjadi direktur.
Istilah entrepreneur merujuk pada profesi seseorang bekerja untuk dirinya sendiri atau perusahaannya sendiri. Bisa jadi, ia merupakan pendiri dari perusahaannya sendiri atau ia merupakan co-founder dari perusahaan yang didirikan oleh orang lain. Sebagai co-founder, ia turut menyertakan modal pada perusahaan tersebut. Ada istilah lain yang mirip yaitu corpopreneur. Corpopreneur adalah merujuk pada karyawan yang memiliki semangat entrepreneurship atau kewirausahaan. Motivasinya tidak berhenti ketika ia mendapatkan gaji bulanan, tetapi motivasinya sudah sama dengan pendiri perusahaan yaitu untuk membesarkan perusahaan.
Maka dalam konteks korporasi, entrepreneur adalah para pendiri dan direktur perusahaan didalamnya. Para founder dan CEO tersebut, dengan keberaniannya mendirikan dan membesarkan perusahaan di tengah pasar yang sangat kompetitif. Dengan berbagai motivasi dan idealismenya, para founder dan CEO bekerja keras untuk memastikan perusahaannya tetap bisa eksis, bertumbuh dan memberikan manfaat kepada masyarakat luas tanpa membedakan sekat agama, suku, bangsa maupun negara. Sehingga seorang entrepreneur bukan sekedar jualan atau berdagang ataupun sekedar mencari kekayaan.
Untuk bisa eksis, tumbuh dan memberi nilai kepada masyarakat, para founder & CEO butuh ilmu yang cukup. Tentunya ilmu yang terkait dengan korporasi, mulai dari ilmu penjualan, akuntansi, keuangan, hukum, marketing, SDM, manajemen resiko, produksi, internet marketing, manajemen stratejik, ekonomi makro dan banyak lagi. Banyak buku yang menulis hal tersebut. Tinggal menumbuhkan kemauan belajar, kemudian membaca dan mempraktekkan ilmu tersebut dalam mengelola korporasinya.
Dan ada satu ilmu yang super penting untuk dipelajari oleh founder & CEO yaitu sejarah korporasi. Pendiri perusahaan memiliki kedudukan yang sama dengan pendiri negara seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka getol belajar, salah satunya belajar sejarah. Tentu saja sejarah yang dipelajari oleh Bung Karno dan Bung Hatta adalah sejarah negara-negara di dunia. Belajar sejarah negara memiliki manfaat sebagai referensi dan benchmark bagi Bung Karno & Bung Hatta dalam mendirikan dan mengelola negara Indonesia. Maka sama bagi founder atau pendiri perusahaan dan CEO-nya. Belajar sejarah perusahaan berfungsi untuk mencari referensi dan benchmark dalam mendirikan, mengelola dan menumbuhkan sebuah perusahaan.
Ilmu sejarah adalah belajar tentang masa lalu. Selama ini obyek sejarah adalah institusi negara. Bahkan belajar tentang masa lalu seseorang saja, ada ilmunya sendiri yaitu biografi. Lembaga negara sebagai objek sejarah tidaklah lepas dari peran sentral negara dalam kehidupan masa lalu. Namun peran itu terus berkurang dari waktu ke waktu. Dulu penanda sejarah adalah hasil karya negara, seperti piramida di Mesir yang dibangun oleh raja atau Candi Borobudur di Indonesia. Kini, penanda sejarah dibangun oleh perusahaan atau korporasi seperti mobil yang dibuat oleh Ford Motor Company, komputer oleh Microsoft, pesawat terbang oleh Boeing dan Airbus, smartphone oleh Android dan banyak lagi penanda sejarah saat ini yang dibuat oleh perusahaan.
Karena bicara sejarah adalah bicara penanda sejarah, maka berbicara penanda sejarah modern harusnya berbicara korporasi. Sayangnya, sejarah korporasi yang menjadi penanda sejarah modern tidak diajarkan di sekolah-sekolah. Sehingga kita menjadi buta sejarah, padahal di masa modern saat inilah korporasi-lah yang melahirkan penanda sejarah. Buta sejarah korporasi berakibat sangat fatal bagi kita.
Ada beberapa dampak negatif dari kondisi buta sejarah korporasi ;
Pertama, karena kita tidak diajarkan sejarah korporasi, membuat kita menjadi tidak sadar bahwa penanda sejarah era modern yang sekarang kita nikmati adalah hasil karya korporasi. Kita tidak sadar bahwa korporasi memiliki peran sangat besar dalam hidup kita. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, ada begitu banyak barang yang kita gunakan adalah dihasilkan oleh korporasi. Termasuk tulisan ini tidak bisa anda baca tanpa adanya peran korporasi yang menghasilkan smartphone, aplikasi dan jaringan internet.
Kedua, akibat buta sejarah korporasi, masyarakat di negara kita sulit untuk membuat korporasi yang mampu membuat penanda sejarah. Mobil, handphone, laptop, android, surat elektronik, pesawat terbang bahkan produk fashion dan makanan seperti Uniqlo, McDonald, Starbuck dan lainnya di produksi oleh bangsa lain. Kita hanya sebagai bangsa konsumen. Kita tidak tahu bahwa untuk menjadi bangsa produsen harus melalui korporasi.
Ketiga, dampak dari buta sejarah korporasi, perusahaan sulit untuk menjadi perusahaan besar atau korporasi. Salah satu cara untuk menjadi korporasi adalah melalui merger dan akuisisi. Korporasi besar seperti Danone atau Unilever adalah hasil dari proser merger/penggabungan dan akuisisi berbagai perusahaan dalam jangka waktu yang panjang.
Salah satu sebab sulitnya dilakukan merger dan akuisisi di negara kita adalah karena ketidakmampuan membedakan antara aset korporasi dengan aset pemegang saham. Hal ini bisa kita lihat saat debat capres di tahun 2019. Saat debat capres tersebut, Capres Jokowi menyebut bahwa Capres Prabowo memiliki lahan seluas 220 ribu hektar di Kalimatan Timur dan 120 ribu hektar di Aceh Tengah. Pernyataan ini muncul karena Capres Jokowi tidak membedakan antara aset Capres Prabowo sebagai pemegang saham dengan aset perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Capres Prabowo. Ini adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan Undang-undang Perseroan Terbatas (UU PT) di negara kita.
Saat debat capres itu, Prabowo menyatakan bahwa ia benar memiliki aset tersebut tetapi sewaktu-waktu akan mengembalikan lahan tersebut kepada negara jika dibutuhkan. Jawaban ini juga menunjukkan bahwa Capres Prabowo tidak membedakan antara aset dirinya sebagai pribadi dan aset perusahaan yang sebagian sahamnya ia pegang. Sebuah pernyataan yang juga tidak sesuai dengan UU PT.
Bagaimana jawaban yang sesuai UU PT? Capres Prabowo bisa memberikan tanggapan kurang lebih seperti ini "Bpk Jokowi kan masih sebagai presiden. Silahkan dicek kepada Kepala BPN atau Dirjen Pajak karena tanah yang Bapak maksudkan sudah bersertifikat BPN dan semua sudah dilaporkan dalam SPT. Dan saya jamin, pernyataan Bapak salah total. Saya sama sekali tidak memiliki tahan tersebut".
Setelah debat capres selesai, Wapres Jusuf Kalla pun menanggapi bahwa memang benar Prabowo memiliki lahan tersebut. Dan proses kepemilikannya dilakukan secara legal formal dan sah. Proses kepemilikan itu berada dalam koordinasinya dalam pemerintahan. Pernyataan Wapres JK ini juga setali tiga uang, tidak sesuai dengan UU PT. Tidak bisa membedakan antara aset korporat dengan aset pemegang sahamnya.
Merger dan akuisisi akan lebih mudah dilakukan apabila masyarakat kita bisa membedakan aset korporasi dengan aset pemegang sahamnya. Merger dan akuisisi sama sekali tidak mengurangi aset pemegang saham yang berupa lembaran saham dengan nilai pasarnya. Malah yang terjadi adalah efisiensi dan adanya nilai tambah dari hasil merger dan akuisisi sehingga nilai dan hak laba (Return On Investment/ROI) bagi si pemegang saham justru meningkat.
Merger dan akuisis merupakan cara untuk melakukan konsilidasi kekuatan ekonomi nasional. Belajar dari sejarah Unilever dan Citibank yang besar dari merger dan akuisisi, maka Indonesia bisa memiliki perusahaan FMCG yang besar dengan menggabungkan Indofood, Indofood CPB, Mayora, Ultrajaya, Orang Tua Grup dan Wings misalnya. Atau menggabungkan Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, BCA dan semua bank merger menjadi 1 bank nasional yang asetnya sekitar Rp 8 ribu triliun, 4x dari APBN Indonesia.
Keempat, dampak dari buta sejarah korporasi adalah tidak munculnya masyarakat berbudaya investasi (investing society). Yang ada malah justru masyarakat berbudaya utang. Apabila ada uang nganggur (iddle money), diutangkan melalui deposito dan tabungan perbankan. Jika butuh uang untuk ekspansi usaha, berutang. Akibatnya bunga bank pun selangit.
Dalam masyarakat berbudaya investasi, perusahaan investasi (investment company) lebih berkembang daripada bank komersial. Seperti di Amerika Serikat, korporasi di bidang keuangan yang memiliki aset terbesar adalah perusahaan investasi (investment company) yaitu BlackRock dengan aset senilai USD 7,4 triliun atau setara Rp 110 ribu triliun. Jauh lebih besar daripada bank komersial Citibank misalnya, yang asetnya hanya sekitar Rp 12 ribu triliun. Coba kita bandingkan dengan investment company terkemuka di Indonesia yaitu Saratoga yang asetnya sekitar Rp 60 triliun. Sangat jauh dibanding aset bank komersial seperti Bank Mandiri yang memiliki aset Rp 1.900 triliun. Investing society menjadi jalan bagi munculnya korporasi penanda sejarah.
Kelima, akibat dari buta sejarah korporasi mengakibatkan tercerabutnya riset dari korporasi sebagai akarnya. Saat belajar tentang Thomas Alfa Edison, anak-anak kita tidak diberi tahu bahwa penemuan bola lampi listrik adalah bagian dari riset General Electric, sebuah perusahaan yang sampai sekarang masih ada. Posisi Thomas Alfa Edison merupaka founder dan CEO dari General Electric saat itu.
Mestinya, anak-anak kita belajar tentang sejarah General Electric. Belajar tentang bagaimana Thomas Alfa Edison mendirikannya. Belajar tentang bagaimana General Electric membangun laboratorium dan kapasitas riset beserta pembiayaannya. Siswa SMA yang sudah ada mata pelajaran akuntansi mempelajari sejarah General Electric sampai pada bab laporan keuangan perusahaan teknologi terkemuka tersebut hingga saat ini. Bahkan di Indonesia juga ada pabrik General Electric. Bahkan kalau perlu, anak-anak bisa berwisata untuk mengunjungi pabrik General Electric di Surabaya sebagai sebuah situs sejarah lintas abad yang masih tetap berproduksi. Sehingga anak-anak akan belajar membangun korporasi besar seperti Generasi Electric yang bisa bertahan dari generasi ke generasi.
Itulah lima dampak kita buta sejarah korporasi, sangat merugikan bangsa kita. Membuat Indonesia lemah di bidang ekonomi dan membuat kita hanya sebagai konsumen. Maka sejarah korporasi adalah penting bagi masyarakat kita. Apalagi buat para pendiri dan CEO perusahaan.
Untuk itulah, blog ini dibuat agar menjadi sarana bagi pendiri, CEO dan masyarakat luar untuk belajar sejarah korporasi. Bisa menarik pelajaran dari berdiri dan tumbuhnya korporasi-korporasi dunia kemudian menerapkan pelajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari agar korporasi Indonesia bisa membuat penanda sejarah yang akan dikenang oleh anak cucu kita.
Comments
Post a Comment